ANDIAWAN dan Robby adalah dua orang anak muda yang bersahabat karib sejak mereka duduk di sekolah dasar. Mereka bekerja sebagai tenaga kurir sparepart di salah satu perusahaan kereta api Eropa. Tugas mereka adalah mengatarkan sparepart-sparepart yang diperlukan dari satu dipo ke dipo yang lain dengan menggunakan kereta kuda.
Suatu sore menjelang senja, mereka berdua ditugaskan mengantar beberapa suku cadang ke dipo lain untuk perbaikan lokomotif yang mogok. Barang tersebut harus diantar malam itu juga karena besok pagi KA harus berangkat. Daerah lintasan yang akan mereka jalani terkenal dengan serigala buas yang dapat memangsa manusia. Akan tetapi, karena tugas dan dedikasi mereka pada perusahaan, akhirnya kedua sahabat ini berangkat juga.
Robby termasuk orangn yang sidikit takut dengan kegelapan, apalagi ada binatang buasnya. Namun, Andiawan membesarkan hatinya demi panggilan tugas perusahaan.
Setelah persiapan selesai, mereka pun berangkat dengan kereta yang ditarik oleh lima ekor kuda. Mereka akan melewati lima rimbunan pohon bambu yang menjadi sarang serigala buas tersebut. Begitu melewati rimbunan bambu pertama, tampak puluhan mata bercahaya dari balik rimbunan siap menerkam mereka, Robby pun bertanya, “Bagaiman kita akan melewati ancaman tersebut?”
Andiawan dengan tenang melepaskan seekor kuda dan langsung diserbu oleh serigala tersebut. Rimbunan kedua pun demikian, untuk menyelamatkan mereka, terpaksa Andiawan melepaskan kuda yang kedua. Terus demikian hingga pada rimbunan keempat dan mereka melepaskan kuda keempat.
Memasuki rimbunan pohon bambu yang kelima, Robby semakin bingung dan panik, karena kuda tinggal seekor. Jika yang seekor ini dilepaskan, maka mereka pun akan menjadi santapan empuk bagi serigala tersebut. Dalam kepanikannya dia bertanya kepada Andiawan, “Bagaimana melewati ancaman ini?”
Namun, Andiawan mengajak Robby untuk tetap tenang. “Pasti ada solusinya, yang penting amanah suku cadang ini harus dapat disampaikan dengan baik,” ungkap Andiawan.
“Tapi bagaimana caranya agar kita keluar dari ancaman ini?” tanya Robby dalam kepanikannya.
Andiawan memeluk Robby, dikatakan supaya Robby tetap ke dipo untuk mengantar suku cadang tersebut dan biarkan dia saja yang mengurus serigala-serigala tersebut.
Benar saja, begitu mendekat ke rimbunan pohon yang kelima, tali kekang kuda diserahkan kepada Robby untuk dikendalikan. Sementara itu, puluhan mata haus darah siap menerkam mereka. Tiba-tiba Andiawan menerjunkan dirinya ke arah rimbunan pohon tersebut dan segera menjadi santapan serombongan serigala. Andiawan pun tewas demi keselamatan sahabat dan amanah yang diberikan perusahaan.
***********************************************************
NILAI suatu persahabatan, sebenarnya dilihat dari ketulusan hati dan kesediaan untuk berkorban bagi orang lain. Andiawan telah mengorbankan kepentingan bahkan nyawanya bagi sahabat dan perusahaannya.
Sahabat manakah yang telah sedemikian hebat mengorbankan nyawanya untuk kepentingan orang lain? Dunia sudah semakin bertumbuh dalam keegoisannya, hubungan antar manusia semakin kering, tingkat persaingan semakin tinggi dan kemajuan teknologi yang telah memungkinkan manusia untuk tidak berhubungan dengan orang lain tanpa melalui tatap muka atau bersalaman. Diperlukan seorang sahabat yang menjadi teman setia di kala suka maupun duka. Bagi mereka – sahabat kita – yang terpaksa harus berpisah dengan keluarga karena penempatan di salah satu daerah, tentu teman-teman satu mes atau sekamar menjadi sahabat sejati mereka. Banyak kejadian rekan-rekan kita yang mengalami musibah atau sakit secara mendadak, sementara ia jauh dari keluarga. Namun, yang melakukan pertolongan pertama justru sahabat-sahabat dekatnya dan ini dilakukan justru dalam empati yang sangat mendalam.
Menjadi sahabat di kala senang dan berkelimpahan adalah hal yang sangat wajar karena siapa pun bisa melakukan hal itu. Namun, menjadi sahabat justru di kala mereka dalam keadaan susah dan berduka menjadikan nilai persahabatan tersebut begitu tingga. Dalam dunia yang semakin “bengkok” ini intisari persahabatan acapkali dibungkus oleh hamparan-hamparan pamrih untuk jangka panjang. Acapkali persahabatan dibangun supaya orang tersebut ingat kalau ada putaran mutasi, supaya proyek dapat dimenangkan dan bahkan persahabatan dibangun untuk menjatuhkan orang tersebut di kemudian hari.
Persahabatan yang sejati tidak melihat hasil dan buah dari persahabatan tersebut, namun kedua belah pihak menikmati proses yang terjadi sebagai bagian dari tugas kehidupan. Itulah sebabnya Richard Exley (2002) mengemukakan, “ Sahabat sejati adalah orang yang mau mendengar dan mengerti ketika Anda mengungkapkan perasaan Anda yang paling dalam. Ia mendukung ketika Anda berjuang. Ia menegur dengan lembut penuh kasih ketika Anda berbuat salah, dan ia memaafkan ketika Anda gagal. Seorang sahabat sejati melecut Anda untuk pertumbuhan pribadi, mendorong Anda untuk memaksimalkan potensi Anda sepenuhnya. Adapun yang paling menakjubkan, ia merayakan keberhasilan Anda seolah-olah keberhasilannya sendiri.”
Ketika sang mentari mulai menampakkan wajahnya hari ini, mari kita merenung sejenak, “Sudahkah kita menjadi sahabat sejati bagi orang lain, dan siapakah sahabat sejati kita yang sesunggunhnya hingga hari ini?”
Marpaung, Parlindingan
Dalam bukunya berjudul: “Setengah Isi Setengah Kosong”
Penerbit: MQS Publishing
Suatu sore menjelang senja, mereka berdua ditugaskan mengantar beberapa suku cadang ke dipo lain untuk perbaikan lokomotif yang mogok. Barang tersebut harus diantar malam itu juga karena besok pagi KA harus berangkat. Daerah lintasan yang akan mereka jalani terkenal dengan serigala buas yang dapat memangsa manusia. Akan tetapi, karena tugas dan dedikasi mereka pada perusahaan, akhirnya kedua sahabat ini berangkat juga.
Robby termasuk orangn yang sidikit takut dengan kegelapan, apalagi ada binatang buasnya. Namun, Andiawan membesarkan hatinya demi panggilan tugas perusahaan.
Setelah persiapan selesai, mereka pun berangkat dengan kereta yang ditarik oleh lima ekor kuda. Mereka akan melewati lima rimbunan pohon bambu yang menjadi sarang serigala buas tersebut. Begitu melewati rimbunan bambu pertama, tampak puluhan mata bercahaya dari balik rimbunan siap menerkam mereka, Robby pun bertanya, “Bagaiman kita akan melewati ancaman tersebut?”
Andiawan dengan tenang melepaskan seekor kuda dan langsung diserbu oleh serigala tersebut. Rimbunan kedua pun demikian, untuk menyelamatkan mereka, terpaksa Andiawan melepaskan kuda yang kedua. Terus demikian hingga pada rimbunan keempat dan mereka melepaskan kuda keempat.
Memasuki rimbunan pohon bambu yang kelima, Robby semakin bingung dan panik, karena kuda tinggal seekor. Jika yang seekor ini dilepaskan, maka mereka pun akan menjadi santapan empuk bagi serigala tersebut. Dalam kepanikannya dia bertanya kepada Andiawan, “Bagaimana melewati ancaman ini?”
Namun, Andiawan mengajak Robby untuk tetap tenang. “Pasti ada solusinya, yang penting amanah suku cadang ini harus dapat disampaikan dengan baik,” ungkap Andiawan.
“Tapi bagaimana caranya agar kita keluar dari ancaman ini?” tanya Robby dalam kepanikannya.
Andiawan memeluk Robby, dikatakan supaya Robby tetap ke dipo untuk mengantar suku cadang tersebut dan biarkan dia saja yang mengurus serigala-serigala tersebut.
Benar saja, begitu mendekat ke rimbunan pohon yang kelima, tali kekang kuda diserahkan kepada Robby untuk dikendalikan. Sementara itu, puluhan mata haus darah siap menerkam mereka. Tiba-tiba Andiawan menerjunkan dirinya ke arah rimbunan pohon tersebut dan segera menjadi santapan serombongan serigala. Andiawan pun tewas demi keselamatan sahabat dan amanah yang diberikan perusahaan.
***********************************************************
NILAI suatu persahabatan, sebenarnya dilihat dari ketulusan hati dan kesediaan untuk berkorban bagi orang lain. Andiawan telah mengorbankan kepentingan bahkan nyawanya bagi sahabat dan perusahaannya.
Sahabat manakah yang telah sedemikian hebat mengorbankan nyawanya untuk kepentingan orang lain? Dunia sudah semakin bertumbuh dalam keegoisannya, hubungan antar manusia semakin kering, tingkat persaingan semakin tinggi dan kemajuan teknologi yang telah memungkinkan manusia untuk tidak berhubungan dengan orang lain tanpa melalui tatap muka atau bersalaman. Diperlukan seorang sahabat yang menjadi teman setia di kala suka maupun duka. Bagi mereka – sahabat kita – yang terpaksa harus berpisah dengan keluarga karena penempatan di salah satu daerah, tentu teman-teman satu mes atau sekamar menjadi sahabat sejati mereka. Banyak kejadian rekan-rekan kita yang mengalami musibah atau sakit secara mendadak, sementara ia jauh dari keluarga. Namun, yang melakukan pertolongan pertama justru sahabat-sahabat dekatnya dan ini dilakukan justru dalam empati yang sangat mendalam.
Menjadi sahabat di kala senang dan berkelimpahan adalah hal yang sangat wajar karena siapa pun bisa melakukan hal itu. Namun, menjadi sahabat justru di kala mereka dalam keadaan susah dan berduka menjadikan nilai persahabatan tersebut begitu tingga. Dalam dunia yang semakin “bengkok” ini intisari persahabatan acapkali dibungkus oleh hamparan-hamparan pamrih untuk jangka panjang. Acapkali persahabatan dibangun supaya orang tersebut ingat kalau ada putaran mutasi, supaya proyek dapat dimenangkan dan bahkan persahabatan dibangun untuk menjatuhkan orang tersebut di kemudian hari.
Persahabatan yang sejati tidak melihat hasil dan buah dari persahabatan tersebut, namun kedua belah pihak menikmati proses yang terjadi sebagai bagian dari tugas kehidupan. Itulah sebabnya Richard Exley (2002) mengemukakan, “ Sahabat sejati adalah orang yang mau mendengar dan mengerti ketika Anda mengungkapkan perasaan Anda yang paling dalam. Ia mendukung ketika Anda berjuang. Ia menegur dengan lembut penuh kasih ketika Anda berbuat salah, dan ia memaafkan ketika Anda gagal. Seorang sahabat sejati melecut Anda untuk pertumbuhan pribadi, mendorong Anda untuk memaksimalkan potensi Anda sepenuhnya. Adapun yang paling menakjubkan, ia merayakan keberhasilan Anda seolah-olah keberhasilannya sendiri.”
Ketika sang mentari mulai menampakkan wajahnya hari ini, mari kita merenung sejenak, “Sudahkah kita menjadi sahabat sejati bagi orang lain, dan siapakah sahabat sejati kita yang sesunggunhnya hingga hari ini?”
Marpaung, Parlindingan
Dalam bukunya berjudul: “Setengah Isi Setengah Kosong”
Penerbit: MQS Publishing