24 Januari 2008

Seperti bunga putih yang hanya mekar sekejap dan mewangi di tengah malam, si ratu malam Wijaya Kusuma. Tanpa perlu melihat wujud tanaman maupun bunganya, dengan hanya mendengar namanya; di benakku langsung saja tergambar wajah Ibu. Ibu yang pernah beberapa kali sengaja menunda tidur hanya untuk menunggu menyaksikan tujuh (atau pun hanya dua) kuntum Wijaya Kusumanya mekar-serentak- sekejap-mewangi dan kemudian kembali layu. Ibu yang masih saja sampai kini, sayup terdengar dari balik jendela kamarku, menghitung kuncup-kuncup bunga -- yang menyeruak dari ketiak daunnya itu -- sambil menduga kapan saatnya bunga itu akan mekar. Yang masih saja sampai kini berseru, "ah… tadi malam ternyata mekarnya", bila mendapati kuncup-kuncup bunga yang sudah melayu di pagi hari. Sepanjang ingatanku, walaupun tak yakin benar, di setiap tempat kami pernah bernaung, selalu ada setidaknya sebatang tanaman ini di pekarangan. Ah… besok kan kutanyakan pada Ibu apakah ingatanku ini benar…